Saya pernah mengalami mimpi yang amat aneh.
Sepanjang hidupku ini, hanya satu kali saya berkunjung ke daratan China.
Tujuan utama waktu itu adalah berziarah ke Gunung Wutai untuk memuja bodhisattva Manjusuri, dan sekalian singgah di Beijing, Taiyuan, Xi'an, Guilin, dan Shanghai. Sedangkan mimpi yang saya alami, justru berkunjung ke Ngarai Sungai Yangtse.
Saya sungguh tak pernah pergi ke Ngarai Sungai Yangtse
Konon tempat ini sudah amat terkenal, juga sudah dialih-fungsi menjadi bendungan raksasa, dan banyak peninggalan budaya di sana yang terendam air.
Akan tetapi, dalam mimpi itu jelas-jelas saya melihat Ngarai Sungai Yangtse.
Saya tiba di Kabupaten Fengdu, berkunjung ke Gunung Xiadu. Saya melihat ada sebuah kuil Xiadu di atas gunung.
Masuk ke kuil Xiadu, tampak dua pratima berjejer di sana,
Yang satu adalah Yin Changsheng, dan yang satunya lagi adalah Wang Fangping.
Saya terus berjalan sampai di hadapan pratima Yin Changsheng. Dan entah bagaimana tiba-tiba saya telah berada di dalam pratima Yin Changsheng itu.
Setelah itu, saya terbangun dari mimpi.
Saya tidak tahu ada hubungan apa antara Yin Cahngsheng dengan saya.
Saya lebih-lebih tidak tahu ada hubungan apa antara saya dengan Kuil Xiandu yang di Gunung Xiandu itu. Sesungguhnya, sekarang ini pun saya tetap tidak ingin tahu. Yang saya alami itu hanyalah sebuah mimpi belaka, sebuah mimpi yang aneh.
Konon, baik Yin Cahngsheng maupun Wang Fangping, kedua-duanya menekuni Sadhana Dewata di Kuil Xiadu.
Dalam mimpi itu, saya terasa: Ribuan cemara dalam puputan bayu yang jadi dewa telah menjauh pikiran dewata? Jawabannya adalah pasti ‘ada’.
Mengapa mempunyai pikiran dewata?
Tidakkah kita sadari alam jagat ini selalu berubah dari waktu ke waktu, dan di tengah ala mini manusia bagaikan semut yang amat kecil yang tumbuh lalu mai, demikialah hidup ini sungguh singkat.
Bersuram-suram saat remaja
Bersenang-senang saat muda
Bersantai-santai saat dewasa
Usia tua segera tiba
Coba bayangkan, makna apa lagi yang tersisa dalam kehidupan seperti ini?
Berderu-deru air sungai mengalir jauh di Ngarai Sungai Yangtse, berdahan-dahan cemara tinggi melangit di Gunung Xiandu. Sedangkan para pelancong di sungai akan segea menyudahi hidupnya. Bukankah hal ini akan membangkitkan pikiran bernuansa dewata?
Semua hidup dalam pertapaan, lingkup pergaulan si gaek tua ini menjadi semakin sempit. Satu-satunya kesempatan langlang buana hanyalah saat menjelajahi sepuluh Dharmadhatu dalam Samadhi atau mimpi.
Tak aada rasa senang pada masa lalu, segalanya usai kini. Rasa enerjik pada masa remaja , masa muda, dan masa dewasa, berubah menjadi lembayung di hari senja.
Saya tak bermaksud mengatakan mengatakan semuanya telah selesai sampai disini, atau tak lagi memiliki semangat hidup untuk mengejar kemajuan.
Yang ingin saya katakan adalah:
“saya telah meninggalkan keduniawian!”
“saya tak lagi menjadi bagian dari dunia saha ini!”
Tak terpikirkan lagi oleh saya akan masih adanya sesuatu yang kuraih di dunia ini, atau masih adanya cita-cita yang belum terlaksana. Saya sudah tidak memiliki obsesi apapun. Saya buan sedang memulai
Tertapi sedang dalam tahap menyelesaikan dengan perasaan puas. Saya kira, selesai itu juga baik adanya.
(SUMBER:Buku Meninggalkan Keduniawian No.183)
Tujuan utama waktu itu adalah berziarah ke Gunung Wutai untuk memuja bodhisattva Manjusuri, dan sekalian singgah di Beijing, Taiyuan, Xi'an, Guilin, dan Shanghai. Sedangkan mimpi yang saya alami, justru berkunjung ke Ngarai Sungai Yangtse.
Saya sungguh tak pernah pergi ke Ngarai Sungai Yangtse
Konon tempat ini sudah amat terkenal, juga sudah dialih-fungsi menjadi bendungan raksasa, dan banyak peninggalan budaya di sana yang terendam air.
Akan tetapi, dalam mimpi itu jelas-jelas saya melihat Ngarai Sungai Yangtse.
Saya tiba di Kabupaten Fengdu, berkunjung ke Gunung Xiadu. Saya melihat ada sebuah kuil Xiadu di atas gunung.
Masuk ke kuil Xiadu, tampak dua pratima berjejer di sana,
Yang satu adalah Yin Changsheng, dan yang satunya lagi adalah Wang Fangping.
Saya terus berjalan sampai di hadapan pratima Yin Changsheng. Dan entah bagaimana tiba-tiba saya telah berada di dalam pratima Yin Changsheng itu.
Setelah itu, saya terbangun dari mimpi.
Saya tidak tahu ada hubungan apa antara Yin Cahngsheng dengan saya.
Saya lebih-lebih tidak tahu ada hubungan apa antara saya dengan Kuil Xiandu yang di Gunung Xiandu itu. Sesungguhnya, sekarang ini pun saya tetap tidak ingin tahu. Yang saya alami itu hanyalah sebuah mimpi belaka, sebuah mimpi yang aneh.
Konon, baik Yin Cahngsheng maupun Wang Fangping, kedua-duanya menekuni Sadhana Dewata di Kuil Xiadu.
Dalam mimpi itu, saya terasa: Ribuan cemara dalam puputan bayu yang jadi dewa telah menjauh pikiran dewata? Jawabannya adalah pasti ‘ada’.
Mengapa mempunyai pikiran dewata?
Tidakkah kita sadari alam jagat ini selalu berubah dari waktu ke waktu, dan di tengah ala mini manusia bagaikan semut yang amat kecil yang tumbuh lalu mai, demikialah hidup ini sungguh singkat.
Bersuram-suram saat remaja
Bersenang-senang saat muda
Bersantai-santai saat dewasa
Usia tua segera tiba
Coba bayangkan, makna apa lagi yang tersisa dalam kehidupan seperti ini?
Berderu-deru air sungai mengalir jauh di Ngarai Sungai Yangtse, berdahan-dahan cemara tinggi melangit di Gunung Xiandu. Sedangkan para pelancong di sungai akan segea menyudahi hidupnya. Bukankah hal ini akan membangkitkan pikiran bernuansa dewata?
Semua hidup dalam pertapaan, lingkup pergaulan si gaek tua ini menjadi semakin sempit. Satu-satunya kesempatan langlang buana hanyalah saat menjelajahi sepuluh Dharmadhatu dalam Samadhi atau mimpi.
Tak aada rasa senang pada masa lalu, segalanya usai kini. Rasa enerjik pada masa remaja , masa muda, dan masa dewasa, berubah menjadi lembayung di hari senja.
Saya tak bermaksud mengatakan mengatakan semuanya telah selesai sampai disini, atau tak lagi memiliki semangat hidup untuk mengejar kemajuan.
Yang ingin saya katakan adalah:
“saya telah meninggalkan keduniawian!”
“saya tak lagi menjadi bagian dari dunia saha ini!”
Tak terpikirkan lagi oleh saya akan masih adanya sesuatu yang kuraih di dunia ini, atau masih adanya cita-cita yang belum terlaksana. Saya sudah tidak memiliki obsesi apapun. Saya buan sedang memulai
Tertapi sedang dalam tahap menyelesaikan dengan perasaan puas. Saya kira, selesai itu juga baik adanya.
(SUMBER:Buku Meninggalkan Keduniawian No.183)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar